Sentra Batik Tuban

Persaingan pasar batik tidak hanya terjadi antara antara batik Gedog Tuban dengan batik Pekalongan dan Solo. Di tingkat lokal-pun, batik yang telah ditetapkan sebagai produk unggulan Industri Kecil Menengah (IKM) Kabupaten Tuban ini, mendapat pesaing yang lumayan berat. Batik Sumurgung atau lebih dikenal dengan batik Bongkol karena sentra kerajinan ini ada di wilayah Dusun Bongkol, Desa Sumurgung, Kecamatan Tuban Kota, perlahan namun pasti menggusur dominasi batik Gedog Kerek.

Darsono (43), salah seorang pengusaha dan perajin batik Bongkol, mengatakan, jumlah pesanan batik Bongkol terus meningkat setahun terakhir. Dalam sebulan saja, kata Darsono, 7.500 lembar batik produksinya mampu terserap pasar. Saat ini memang baru empat pengusaha batik yang memproduksi batik Bongkol. Itu pun baru Darsono yang total memproduksi batik Bongkol,sedang tiga pengusaha lainnya masih sesekali memproduksi batik Gedog. Namun melihat trend batik Bongkol yang terus naik itu, Darsono optimis dua-tiga tahun ke depan para pembatik di tempat itu akan kembali beralih ke batik Bongkol dan meninggalkan batik Gedog sama sekali.

“Tanda-tanda ke arah itu sudah ada. Dulu pembatik menggarap gedog dan meninggalkan batik aseli sini, karena pasar tahunya batik Tuban ya gedog itu. Lha yang gencar dipromosikan kan batik Gedog, jadi batik lainnya seperti batik Bongkol ini tenggelam. Tapi saya optimis keadaan akan berbalik. Batik Bongkol ini akan mengambil alih popularitas Batik Gedog,” kata Darsono saat menerima sosialnews.com di rumah yang sekaligus tempat produksinya, Dusun Bongkol, Desa Sumurgung, Kecamatan Tuban Kota, Senin (16/7).

Konsumen batik, lanjut Darsono, pelahan akan berbondong-bondong berpindah ke Batik Bongkol lantaran dari beberapa aspek batik ini lebih mampu diterima pasar ketimbang batik Gedok Kerek. Batik Bongkol hanya dibandrol Rp 25-30 ribu/lembar, sementara batik Gedog Kerek masih berkisar Rp 30-150 ribu/lembarnya. Keunggulan lainnya, batik Bongkol ini tidak membutuhkan kain khusus. Semua jenis kain pabrikan bisa menjadi bahan batik Bongkol. Ini jelas memungkinkan batik Bongkol diproduksi dalam jumlah lebih besar mengingat kemudahan bahan bakunya, sehingga permintaan pasar berapa-pun akan mampu terlayani. Kemampuan ini tidak dimiliki batik Gedog Kerek lantaran bahan yang dipakai adalah kain tenun gedog yang tidak bisa diproduksi massal dalam waktu singkat.

“Dari segi kualitas kain, batik Gedog lebih unggul. Tetapi pasar menghendaki harga yang lebih terjangkau. Toh kualitas batik Bongkol ini tak beda jauh dengan batik Gedog, karena sama-sama dikerjakan secara tradisional,” kata Darsono.

Untuk pasar lokal sendiri, sambung Darsono, memang belum seberapa besar share yang didapat. Konsumen lokal bahkan masih lebih mengenal batik Gedog ketimbang batik Bongkol. Tapi melihat antusiasme pasar non lokal yang demikian tinggi terhadap batik ini, Darsono yakin dalam waktu yang tidak lama batik Bongkol akan mampu merajai pasaran lokal. Bukan saja batik Gedog yang berpeluang tergeser, tetapi batik produk para perajin Solo dan Pekalongan yang selama ini masih menjadi penguasa pasar, juga bakal mampu didesaknya. Terlebih lagi, motif batik Bongkol ini lebih variatif ketimbang batik Gedog Kerek yang terlihat monoton.

Tetapi sayangnya, potensi besar ini belum mendapat respon positif dari Pemerintah setempat. Pemkab Tuban sendiri masih terpaku pada batik Gedog sebagai produk kerajinan unggulan Bumi Ronggolawe ini. Selama ini, kata Darsono, para perajin batik Bongkol berusaha sendiri mengeksiskan batik warisan asli leluhur masyarakat setempat itu. Kepala Bagian Industri Dinas Perekonomian dan Pariwisata, Heru Purnomo, mengakui pihaknya belum sempat masuk ke wilayah batik Bongkol tersebut.

Desa Sumurgung, tempat batik Bongkol itu diproduksi, memang telah ditetapkan masuk kawasan Kampung Batik. Tetapi selama ini batik yang diproduksi para perajin umumnya di kawasan ini tetap batik Gedog, sementara batik Bongkol terkesan tidak terurus. Perajin-perajinnya pun berbondong-bondong menjadi “pekerja” pengusaha batik Gedog. Bahkan tidak sedikit yang hanya mengerjakan finishingnya dengan upah Rp 750/lembar.


“Sehari 15 lembar batik yang bisa saya kerjakan. Ya lumayanlah. Kalau mbatik sendiri nggak ada modal. Apalagi semuanya sekarang memilih batik Gedog,” kata Warsilah, salah seorang perajin.

Warsilah sendiri mengakui order finishing batik Gedog mulai mengalami penurunan lantaran menurunnya permintaan pasar. Warsilah tidak tahu betul apa sebabnya. Namun menurut Heru Purnomo, penurunan pasar batik Gedog itu lantaran rendahnya daya saing batik Gedog. “Batik Gedog tidak cukup memiliki daya saing pasar, karena harganya masih terlalu tinggi menurut ukuran pasar saat ini. Kami upayakan ada pembaharuan tehnik produksi sehingga batik Gedog ini bisa kembali merajai pasar,” kata Heru Purnomo.

Disinggung tentang batik Bongkol yang mulai menggusur batik Gedog, Heru Purnomo mengatakan, pihaknya tidak bisa melakukan intervensi terlalu jauh karena semua tergantung kecenderungan pasar. Disperpar sendiri, kata Heru Purnomo, sejauh ini hanya bisa memberi stimulus agar usaha-usaha seperti itu mampu berkembang dan eksis di pasaran. Ia menampik jika pihaknya “menganak-emaskan” batik Gedog, sehingga batik-batik lain yang ada di Kabupaten Tuban ini mati suri.

Catatan Heru Purnomo sendiri, saat ini tercatat 674 perajin batik yang tersebar di Desa Karang dan Prunggahan Kulon Kecamatan Semanding, Desa Gaji, Desa Margorejo dan Karanglo Kecamatan Kerek, Desa Gesikharjo Kecamatan Palang, dan Desa Sumurgung Kecamatan Tuban Kota. Sayangnya, dari jumlah itu hanya empat perajin batik yang telah memenuhi persyaratan, yakni memiliki Tanda Daftar Perusahaan (TDP), Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan persyaratan administrasi lainnya. “Keempatnya perajin batik Gedog. Kami berharap para perajin batik lainnya, seperti batik Bongkol itu, juga mengurus persyaratan administratif seperti itu agar kami bisa melakukan pembinaan dengan baik,” pesan Heru Purnomo.

Comments